Uncategorized

3 Aspek dalam Budaya K3: Sebuah Pengantar

3 aspek budaya k3: aspek psikologi, sosiologi dan antropologi

Salah satu pekerjaan terbesar K3 dan tidak akan pernah usai adalah mempertahankan sebuah kelaziman (budaya) untuk selalu mengelola risiko yang dapat memicu terjadinya kerugian.

Semua upaya organisasi (baca : perusahaan) selalu memimpikan kelaziman atau budaya semacam itu tumbuh dan berkembang di semua aktifitas yang ada di dalam organisasi. Tidak hanya perusahaan, akademisi juga tiada menyerah untuk menggali, mengenali, dan menyebarkan prinsip-prinsip pencegahan kerugian sebagai benih-benih budaya tersebut.

Banyak sudut pandang dan argumentasi tentang budaya K3 telah “disajikan” oleh para akademisi dan praktisi K3, yang terutama disebarkannya berbagai metode-metode penerapan K3 yang menurut para akademisi dan praktisi ini sebagai “akar-akar K3”. Meski demikian para praktisi maupun akademisi sepakat bahwa tidak ada satu pun definisi tunggal yang mampu menggambarkan secara holistik tentang apa itu budaya K3.

budaya k3 tori

Salah satu hasil budaya di Jepang

Walaupun tidak ada definisi tunggal, namun keberadaan budaya K3 dapat dikenali melalui tiga aspek pendekatan yang saling berinteraksi dan saling berhubungan satu dengan lainnya. Ketiga aspek tersebut adalah :

  1. Aspek psikologi (cara berpikir)
  2. Aspek sosiologi (cara berinteraksi)
  3. Aspek antropologi (cara membuat artefak/peninggalan)

Aspek Psikologi (Cara berpikir)

Budaya K3 tidak dapat dilepaskan dari cara berpikir terhadap upaya menurunkan atau bahkan menghilangkan risiko. Seperti kita bahwa risiko adalah produk dari Likelihood (Kekerapan atas kemungkinan) dan Consequences (Besarnya dampak). Penulis pernah mengupas bagaimana masing-masing produk ini “berperan” pada risiko dan bagaimana langkah pengendalikan “peran” tersebut.

Pada banyak penelitian dan juga praktek-praktek K3 di lapangan yang telah berhasil “menciptakan” rekor kerja tanpa kecelakaan sekian puluh juta jam kerja, terlihat kuat bahwa cara berpikir para “aktor-aktor” di perusahaan tersebut selalu mendahulukan (memberi prioritas) pada upaya untuk mengurangi atau meniadakan Likelihood.

Aktor-aktor ini berkeyakinan bahwa semua aktifitas kerja dapat “dibongkar” faktor-faktor Likelihood yang dapat menyebabkan terwujudnya insiden. Semua hal disekitar aktor tersebut saat bekerja dipandang sebagai hal yang berisiko, sehingga perlu “ditemukan” faktor yang akan menyumbang pada Likelihood. Dengan mengunci Likelihood pada tingkat/level yang dapat diterima maka kondisi nihil insiden dapat terbangun dengan sendirinya. Ini salah satu cara berpikir yang dapat diyakini sebagai pemicu terbentuknya budaya K3.

Aspek Sosiologi (Cara berinteraksi)

Kunci utama pada aspek ini adalah bagaimana memilih “bahasa yang positif” untuk menyampaikan pesan-pesan keselamatan untuk selanjutnya diharapkan terbangun kesadaran yang berkesinambungan untuk berperilaku nihil risiko. Prof Edgar Schein (seorang ahli budaya organisasi) mengatakan bahwa “tidak akan pernah ada budaya dalam organisasi, bila elemennya tidak paham apa yg sudah ditulis oleh organisasi dan bila para pemegang kekuasaan organisasi (top manajemen) menggunakan bahasa sinisme.

pekerja garam budaya k3

Ilustrasi pekerja tambak garam

Yang ditulis itu merujuk pada pemilihan kalimat dan sinisme merujuk pada kemampuan berbahasa yang positif. Cara berinteraksi menurut Prof Schein ditentukan secara langsung oleh dua faktor tersebut (pemilihan kalimat dan kemampuan berbahasa yang positif).

Cara berinteraksi yang berbasis pada dua faktor tersebut akan menumbuhkan norma-norma yang akan dipercaya sebagai hal yang harus dilakukan. Prof Toety Herawati dalam bukunya “Aku dan Budaya” bahkan menitikberatkan bahwa budaya akan muncul ketika “aku” sudah keluar dari cara berkomunikasi yang serampangan. Intinya adalah pemilihan tata bahasa yang mengandung unsur positif, penyusunan kalimat dalam bahasa yang jelas dan lugas, dan penyusunan makna yang mudah dipahami adalah “akar” dari cara berinteraksi dan norma adalah “buah” dari cara berinteraksi tersebut.

Aspek Antropologi (cara membuat peninggalan/artefak)

Setiap budaya selalu menghasilkan artefak menurut Prof Schein. Artefak merupakan ukuran dari seberapa tinggi suatu budaya yang pernah ada. Artefak merupakan “obyek” untuk dipelajari secara tuntas kenapa ada kemunculan “benda peninggalan” seperti itu.

Apa yang menjadi latar belakangnya, apa yang menjadi tujuannya, bagaimana proses terbentuknya, dan pelajaran apa yang akan didapatkan dari “benda peninggalan” tersebut. Dalam budaya K3, yang menjadi artefak adalah indikator kinerja K3.

Indikator kinerja K3 ini adalah “benda peninggalan” dari serangkaian kegiatan K3 dalam upaya untuk mencegah terjadinya insiden atau kerugian. Indikator kinerja K3 tidak hanya memberikan informasi pada semua pihak dalam organisasi tentang “What Went Go Wrong (Apa saja yang tidak benar telah terjadi)” tapi juga merupakan sumber-sumber terhadap “Learn from Success (belajar dari keberhasilan)”.

pekerja konstruksi

Pekerja menggunakan sarung tangan dan kacamata safety ketika menggunakan cutting torch

Trend-trend dalam indikator kinerja K3 merupakan sarat akan informasi yang perlu digali dan dilacak berbagai faktor keberhasilan dan faktor kegagalan yang telah berperan di dalamnya. Cara menghasilkan indikator kinerja K3 sebagai artefak adalah merupakan salah satu langkah untuk membangunkan “raksasa” yang bernama Budaya K3 untuk bangun, berperan, dan berimprovisasi untuk membebaskan semua aktifitas perusahaan dari risiko yang tidak dapat diterima.

Ketiga aspek sebagaimana yang penulis jelaskan di atas “hanyalah” satu sisi dari sebuah dadu budaya K3. Masih banyak sisi lain dari dadu budaya K3 tersebut yang menjadi “tulang punggung” dari budaya K3.

Referensi
1. Stian Antonsen “Safety Culture : Theory, Method and Improvement”
2. Frank Guldenmund “Understanding and Exploring Safety Culture”
3. Frank Guldenmund “The Nature of Safety Culture”
4. Cindy Cadwell “Safety Culture and High-Risk Environment”
5. Erik Hollnagel “Safety-I, Safety-II”
6. Edgar Schein “Organizational Culture and Leadership”
7. Toety Herawaty “Aku dan Budaya”
8. Scott Geller “Total Safety Culture”

 

Baca Tulisan

Roslinormansyah Ridwan

Senior Praktisi Keselamatan dan Kesehatan Kerja Indonesia. Memiliki pengalaman sebagai Country HSE Manager Haliburton Indonesia

One Comment

Back to top button