Safety Culture : Organisasi, Individu & Pekerjaan
Safety culture merupakan term atau istilah yang sering kita dengar saat ini. Apalagi jika dikaitkan keinginan pemerintah, khususnya kementerian tenaga kerja, yang ingin berbudaya K3 di tahun 2015 (entah tercapai atau tidak karena memang tidak ada informasi yang tersedia untuk ini), maka istilah safety culture semakin santer/sering diucapkan, dibahas, dianalisis dan bahkan diterapkan di setiap kerja.
Istilah safety culture sebenarnya dimunculkan pertama kali pada laporan INSAG – 75 tahun 1991. Laporan itu dibuat untuk memberikan landasan fundamental pada hasil investigasi insiden Chernobyl. Laporan itu sendiri mendefinisikan safety culture untuk pertama kalinya sebagai berikut :
Safety culture is that assembly of characteristics and attitudes in organizations and individuals which establishes that, as an overriding priority, nuclear plant safety issues receive the attention warranted by their significance.
Ada 3 kunci utama dalam definisi tersebut, yaitu : Organisasi, Individu, dan Pekerjaan (Job) untuk memberikan prioritas pada hal-hal yang berhubungan dengan isu-isu keselamatan kerja.
Organisasi merupakan elemen utama dan terpenting dalam mensukseskan terlaksananya safety culture. Sumber daya, tata kerja, arus informasi dan komunikasi, komitmen, serta pedoman operasional merupakan beberapa hal yang menjadi tanggung jawab organisasi untuk berperan.
Individu, sebagaimana juga organisasi, adalah elemen pokok dan kritikal bagi sukses tidaknya penerapan safety culture. Pembiasaan (konsistensi), pencegahan kegagalan (error reduction),kerumitan bahasa dalam komunikasi (level of language communication), interaksi, persepsi, dan cognitive serta attitude merupakan pilar utama dalam individu yang harus dijalankan untuk menciptakan kondisi dan situasi yang mengacu pada budaya k3.
Pekerjaan (Job), merupakan pilar lainnya yang juga memegang peranan vital dalam menciptakan nuansa dan lingkungan kerja yang betul-betul aman dan nyaman bagi pekerja dan bagi siapa saja yang berada di sana. Pekerjaan ini akan mencakup : metode kerja, peralatan kerja, bahan kerja, dan lingkungan kerja untuk dirancang dan dibentuk dengan mengacu pada upaya meminimalkan resiko dari awal. Apapun bentuk resiko yang muncul sangat diharapkan dapat terpotret/teridentifikasi sendiri awal dan kemudian dikelola semaksimal mungkin (dengan melibatkan organisasi dan individu) agar resiko itu tidak memberikan dampak ke manusia bila pekerjaan tersebut sedang dilakukan atau setelah dilakukan.
Ada yang melihat sisi leadership karena sisi aspek psikologis dari budaya k3 perlu diidentifikasi, ada pula yang melihat bagaimana komitmen harus menjadi prime mover karea sisi aspek sosiologis dari safety culture memegang kendali kritikal, dan ada pula yang melihat dari sisi bahwa lesson learned dari “artefact” (meminjam istilah Edgar Schein).