Dari Safety I Menuju Safety II
Telepon genggam pertama diketahui telah diproduksi oleh Motorola dengan berat lebih dari 1 kg, panjang 9 inci dan lebar 1.75 inci. Telepon genggam ini hanya bisa dipakai untuk menelepon selama 30 menit dan butuh 10 jam untuk dapat di-charge. Telepon genggam dari Motorola tersebut pastinya tidak akan laku jika dijual sekarang, karena telepon genggam kita sekarang memiliki bentuk yang jauh lebih kecil, lebih ringan dan lebih efisien dalam penggunaan energi.
Gambar 1. Telepon Kuno vs Telepon Modern
Perubahan juga telah terjadi di dunia aviasi. Menurut ICAO (2013), trafik pesawat penumpang telah mencapai 5.4 juta penumpang-kilometer. Airbus (2012) menyampaikan bahwa dalam 15 tahun ke depan, trafik ini akan meningkat 2 kali lipat. Perubahan trafik ini menuntut sistem yang lebih canggih lagi dan jauh lebih rumit.
Dunia telah berubah, teknologi telah berubah, lantas bagaimana dengan keselamatan kerja (safety)? Bertahun-tahun kita selalu menilai keselamatan kerja justru dari seberapa banyak kecelakaan yang terjadi, suatu hal yang paradox. Dengan kata lain, keselamatan kerja dinilai dari ketiadaannya. Hal inilah yang dipandang oleh Erik Hollnagel, seorang Professor di University of Southern Denmark, sebagai hal yang harus diubah. Ia membuat sebuah konsep tentang safety I dan Safety II.
Safety I
Dalam struktur Bahasa, huruf romawi I dan II menunjukkan sebuah urutan. Hollnagel menjadikan safety I sebagai praktek-praktek keselamatan kerja yang sudah muncul sejak Teori Domino muncul di tahun 1931 dan dikembangkan sekitar tahun 1965 hingga 1985. Sementara, safety II adalah ide-ide terkait dengan keselamatan kerja baru yang diusulkan oleh Hollnagel.
Pada safety I, salah satu semangat yang selalu dipakai dalam praktek keselamatan kerja adalah “menghindari hal yang buruk” baik berupa kerugian ataupun kecelakaan. Kita banyak melihat target-target perusahaan berupa angka kecelakaan yang kecil terpampang di halaman masuk perusahaan. Angka kecelakaan yang rendah berarti akan mendatangkan bonus di akhir tahun yang tinggi.
Safety I banyak berkonsentrasi pada hal yang buruk dan tidak menganggap “hal yang baik” itu sebagai suatu yang spesial. Misalnya, pada 10.000 kali suatu aktivitas yang dilakukan ternyata terdapat 1 kali kecelakaan, maka kita akan lebih menyorot 1 kecelakaan tersebut daripada 9.999 kali aktivitas berhasil yang telah dilakukan. Kita akan membuat laporan kecelakaan, menyusun langkah perbaikan, pihak pemerintah juga akan melakukan inspeksi dan mencatat 1 kecelakaan tersebut meski kita telah berhasil melakukan 9999 kali aktivitas dengan benar.
Gambar 2. Perbandingan antara kejadian sukses dengan gagal
Karena safety I sangat berkonsentrasi pada “hal yang buruk”, maka ketiadaan hal yang buruk dianggap sebagai sebuah prestasi. Mereka cenderung tidak melakukan apapun untuk meningkatkan keselamatan jika tidak terjadi kecelakaan. Inilah yang ditakutkan muncul dalam safety I yaitu munculnya sikap reaktif bukan proaktif, harus menunggu kecelakaan terjadi untuk dapat bergerak.
Ciri khas lain dalam safety I adalah linear thinking yaitu menganggap suatu kejadian atau sistem bisa diuraikan (decomposable) hingga diperoleh penyebab utama atau komponen terkecil yang menyusun dari suatu sistem. Linear thinking ini dapat menjadi masalah sebagaimana telah terjadi pada kegagalan pencarian penyebab masalah baterai Boeing 787 Dreamliner yang masih belum ditemukan. Linear thinking juga banyak mendapat pertanyaan karena semakin lama, semakin rumit sistem yang dikembangkan manusia dengan interaksi yang beraneka ragam sehingga linear thinking sulit bisa diaplikasikan.
Gambar 3. Gagang pintu masih bisa untuk diuraikan
Selanjutnya, dalam safety I sistem dianggap sebagai bimodality artinya suatu sistem dapat salah karena memang dari asalnya sudah salah dan suatu sistem benar karena memang sudah didesain dengan benar. Hal tersebut mungkin bisa dipraktekkan untuk mesin-mesin tapi jelas hal tersebut tidak bisa dipraktekkan untuk manusia. Mesin mungkin bisa diperbaiki secara desain, namun bagaimana cara memperbaiki desain manusia?
Safety I juga menganggap ketaatan pada prosedur merupakan suatu hal yang dapat mencegah kecelakaan (work as imagined) dan berupaya meminimalisir variasi performa yang dilakukan oleh manusia dalam pekerjaan sehari-hari (work as done). Padahal, orang yang membuat prosedur belum tentu paham seluruh seluk beluk pekerjaan dan pekerja yang melakukan pekerjaan (sharp end) dan belum tentu dapat menyusun prosedur berdasarkan variasi-variasi yang ada.
Gambar 4. ATC pesawat dulu dan sekarang
Safety II
Menurut IATA (2013), hampir 3 milyar orang dapat terbang dengan selamat dengan total 37.5 juta penerbangan di tahun 2012. Itu berarti setiap harinya terdapat 100.000 penerbangan yang berhasil mendarat dengan selamat. Namun, masih terdapat 75 kecelakaan di tahun 2012 dengan 15 dari kecelakaan itu memiliki konsekuensi yang mematikan (414 kematian). Meskipun begitu, kecelakaan masih dianggap sebagai sesuatu yang jarang karena kecelakaan hanya terjadi setiap 5 juta penerbangan saja.
Pilot, insinyur, controllers dan semua pihak yang mengambil peran dalam keberhasilan pesawat telah menunjukkan bahwa mereka dapat meraih hal ini karena mereka dapat menyesuaikan performanya sehingga dapat cocok terhadap kondisi yang dibutuhkan. Mereka tidak fokus kepada kecelakaan, mereka fokus kepada keberhasilan dan belajar bagaimana keberhasilan ini dapat terus ditingkatkan. Inilah semangat safety II yaitu semangat “memastikan semua telah benar”.
Dengan semangat “memastikan semua telah benar”, safety II tidak berfokus kepada pencapaian minimum untuk memastikan tempat kerja aman (as low as reasonable practicable). Namun, safety II berfokus kepada kemampuan sistem untuk dapat sukses dalam berbagai macam kondisi, sehingga yang ia inginkan adalah memastikan tempat kerja aman semaksimal mungkin (as high as possible).
Gambar 5. Ilustrasi Safety Briefing
Sumber : ccsbestpractice.org.uk/
Dalam statistik, kita mengenal adanya kurva normal yaitu sebuah kurva yang menerangkan variasi dalam sebuah populasi. Dalam kurva normal, kita selalu menemukan adanya 90% kejadian normal dan rutin, 5% kejadian yang menjadi best practice, sementara 5% kejadian yang menjadi kecelakaan. Safety I hanya berfokus terhadap 5% kejadian yang menjadi kecelakaan, sementara safety II berfokus kepada 95% kurva normal dan memastikan hal yang sudah baik terus menjadi baik.
Gambar 6. Kurva normal
Safety II juga mempercayai bahwa sistem yang ada saat ini tidak bisa dipecah lagi menjadi komponen lebih kecil. Konsekuensi dari pendapat ini adalah kecelakaan tidak bisa lagi diurutkan penyebabnya dalam RCA, safety II mengembangkan metode yang disebut FRAM untuk menerangkan kecelakaan yang menggambarkan penyebab dengan lebih nyata.
Perbedaan safety I dan Safety II bisa dilihat dalam tabel berikut:
Gambar 7. Tabel perbandingan safety I dan safety II
Sebuah perubahan pasti membutuhkan pergantian paradigma. Jika safety II membuat peningkatan dalam keselamatan kerja, maka kita harus siap untuk menerima. Suatu hal yang perlu digaris bawahi adalah bahwa safety II tidak mengganti safety I secara keseluruhan namun safety II melengkapi safety I dalam praktek sehingga tercermin dalam kurva normal berikut:
Gambar 8. Kurva normal safety I dan safety II
Referensi:
Eurocontrol, 2013. From Safety I to Safety II: A White Paper, s.l.: European Commission.
Hollnagel, E., 2014. From Safety I and Safety II. 1st ed. Surrey: Ashgate.