Higiene Industri untuk Kesehatan Mental Pekerja Indonesia
“Ketika masalah kesehatan fisik telah dapat dengan mudah diperbincangkan di antara para pekerja, kesehatan mental masih memiliki stigmanya tersendiri. Jangankan untuk dirumuskan penanganan dan jaminannya; membicarakannya pun menjadi suatu ketabuan tersendiri” Ekarehendy dkk., 2018
Menilik hasil Survei Penduduk Antar Sensus (SUPAS) 2015, jumlah penduduk Indonesia sebanyak 255, 18 juta jiwa (SUPAS, 2015). Laporan Badan Pusat Statistik (BPS) pada Agustus 2019, jumlah penduduk usia kerja sebanyak 197,91 juta orang, sedangkan jumlah penduduk yang bekerja sebanyak 126,51 juta orang (BPS, 2019). Hampir setengah dari jumlah penduduk di Indonesia adalah pekerja.
Pekerja yang sehat merupakan subyek yang sangat penting dalam penggerak perekonomian bangsa. Selain itu, mengingat pekerja berada pada usia reproduksi, maka pekerja juga merupakan pencetak generasi penerus bangsa yang akan datang, sehingga pekerja yang sehat akan melahirkan generasi yang sehat pula (Kemenkes RI, 2018).
Daftar Isi
Kesehatan Kerja
Guna mewujudkan pekerja yang selamat, sehat, produktif dan sejahtera maka perusahaan mengupayakan penerapan Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) di tempat kerja. Kesehatan kerja merupakan bagian penting dari K3 yang bertujuan untuk mencegah penyakit akibat kerja (Kurniawidjaja, 2007). Menurut laporan Kementerian Kesehatan RI (2015), jumlah kasus penyakit akibat kerja tahun 2014 sebanyak 40.694. Berdasarkan data BPS, terdapat 26,74% penduduk yang bekerja di Indonesia memiliki keluhan dan gangguan kesehatan (Kemenkes RI, 2018).
Batasan “sehat” yang menjadi tujuan Kesehatan Kerja, bukan saja sehat secara fisik, melainkan sehat secara mental, sosial, dan spiritual, sejalan dengan definisi kesehatan menurut WHO dan Undang-Undang RI Nomor 36 Tahun 2009 (Kurniawidjaja, 2007). Dewasa ini, isu kesehatan mental di tempat kerja cukup banyak diperbincangkan oleh kalangan pekerja, serikat pekerja, hingga para ahli. Ketua Pengurus Pusat Persatuan Dokter Spesialis Kesehatan Jiwa Indonesia, Eka Viora, menjelaskan bahwa 33% pekerja mengalami work pressures, sedangkan 21% mengalami harassment dan bullying.
Kerugian yang ditimbulkan apabila mengabaikan kesehatan mental pekerja sangat besar karena berdampak pada penurunan produktivitas perusahaan (Gatra.com, 2017). Dilansir dari Huffington Post, diprediksi kondisi kesehatan mental karyawan dapat memengaruhi sebuah perusahaan untuk kehilangan US$100 juta hingga US$217 miliar per tahunnya (CNN Indonesia, 2016).
Banyak faktor di tempat kerja yang dapat memengaruhi kesehatan mental pekerja, di antaranya kepemimpinan dan komunikasi yang buruk, konflik antarpersonal, konflik peran, motivasi kerja, kurangnya sumber daya untuk menyelesaikan pekerjaan, beban tugas yang terlalu berat, dan lingkungan tempat kerja yang tidak mendukung produktivitas kerja (Setyaningsih, 2018).
Badan Ekonomi Kreatif RI (BEKRAF) mengeluarkan hasil risetnya bersama Badan Pusat Statistik (BPS) menyatakan bahwa lebih dari sepertiga (31,98%) pekerja industri kreatif Indonesia overwork dengan bekerja lebih dari 48 jam setiap minggunya. Hal ini belum ditambah dengan kultur sejumlah pekerjaan yang memiliki tekanan-tekanan khusus. Jurnalis, freelancer, desainer grafis, dan pekerja di sektor non-manufaktur dengan jam kerja yang fleksibel menghadapi persoalan serius soal kesehatan.
Kasus Kesehatan Mental
Berdasarkan position paper SINDIKASI, contoh kasus kesehatan mental pekerja dialami oleh Zaky Yamani, mantan wartawan harian Pikiran Rakyat. Pada 2016, hasil konseling di Biro Pelayanan dan Inovasi Psikologi (BPIP) Universitas Padjadjaran menyimpulkan gangguan psikologis yang dialami Zaky terkait dengan pekerjaannya. Profesi dia sebagai wartawan mengharuskannya meliput peristiwa-peristiwa traumatis seperti bencana alam, pembunuhan, dan bahkan dia pernah mengalami ancaman pembunuhan terkait karya jurnalistik yang dihasilkannya. Akumulasi peristiwa tersebut, menurut Zaky, yang membuat kondisi kejiwaannya terganggu (Ekarahendy dkk., 2018).
Bak lingkaran setan, dampak gangguan mental akibat pekerjaan dapat memengaruhi banyak aspek dan sulit memutus lingkaran tersebut. Dilansir dari Asumsi.co (2019) dalam suatu kasus, Rama (bukan nama sebenarnya), 23 tahun, adalah seorang program officer di sebuah NGO bidang seni dan budaya. Selama satu tahun terakhir, dia merasa letih dan cemas setiap hendak berangkat ke kantor.
Rama memiliki pekerjaan dengan tuntutan besar dan jam kerja yang panjang. Ia bisa bekerja tanpa henti setiap harinya jika sedang mengkoordinasi sebuah acara dan tidak ada kompensasi yang setimpal baik dalam bentuk remunerasi atau pun hari cuti. Sementara itu, Rama merasa pola hidupnya bergeser. Karena terlalu letih, ia lebih memilih menggunakan transportasi online untuk pergi dan pulang dari kantor daripada menggunakan transportasi publik.
Hal ini membuat pengeluarannya tiap bulan jadi membengkak. Rasa letih juga berpengaruh pada kehidupannya di luar pekerjaan, terutama relasi personal. Psikolog menyarankannya untuk mencari coping guna menghibur diri. Namun, mekanisme ini lama kelamaan tidak lagi cukup baginya. Intensitas yang dibutuhkan untuk menghibur diri jadi semakin tinggi dan berakhir menimbulkan masalah baru. Awalnya Rama hanya membutuhkan waktu bermain game selama satu jam, tetapi kini bertambah 3 – 4 jam hingga menimbulkan insomnia. Kemudian timbul pula kebutuhan untuk staycation atau rekreasi keluar kota yang membutuhkan banyak uang (Asumsi.co, 2019).
Perusahaan memegang peranan penting dalam mewujudkan kesehatan dan keselamatan pekerjanya. Anggota Bidang Uji Perhimpunan Dokter Spesialis Okupasi Indonesia (Perdoki), Nuri Purwito, memandang perlu adanya identifikasi faktor risiko kesehatan mental di tempat kerja. Berdasarkan World Federation for Mental Health (WFMH), satu dari lima orang mengalami kesehatan mental. Kesehatan mental sering diabaikan di tempat kerja. Tempat kerja seharusnya menjadi tempat rehabilitasi karena beban pekerjaan dapat terjadi baik secara kualitatif maupun kuantitatif (Gatra.com, 2017).
Higiene Industri guna Kesehatan Mental
Memperkuat sistem K3 di perusahaan merupakan solusi dari permasalahan kesehatan dan keselamatan yang ada di tempat kerja. Dalam ilmu K3 dikenal istilah Higiene Industri, OSHA (1998) mendefinisikan higiene industri sebagai ilmu pengetahuan dan seni yang ditujukan untuk mengantisipasi, mengenali, mengevaluasi dan mengendalikan faktor lingkungan atau tekanan yang terjadi di atau dari tempat kerja yang dapat menyebabkan penyakit, gangguan kesehatan dan kesejahteraan atau ketidaknyamanan yang signifikan di kalangan pekerja atau masyarakat sekitar.
Prinsip dasar penerapan higiene industri di tempat kerja diantaranya adalah:
- Pengenalan terhadap bahaya faktor-faktor lingkungan kerja;
- Penilaian/evaluasi terhadap bahaya faktor-faktor lingkungan kerja; dan
- Pengendalian terhadap bahaya faktor-faktor lingkungan kerja (Setyaningsih, 2018).
Penguatan higiene industri di tempat kerja sangat diperlukan untuk mengenal bahaya psikososial. Bahaya psikososial dapat dikategorikan menjadi dua, yaitu bahaya yang berkaitan dengan hubungan kerja (context to work) meliputi: budaya dan fungsi organisasi; peran dalam organisasi; perkembangan karir; pengawasan kerja; hubungan interpersonal, dan bahaya yang berkaitan dengan isi dari pekerjaan (content of work) meliputi: desain kerja; beban kerja; jadwal kerja; lingkungan kerja; dan peralatan kerja (Putri, 2018).
Apabila pengenalan bahaya psikososial dan penilaian risiko kesehatan mental dilakukan dengan baik, maka pengendalian yang diterapkan oleh perusahaan akan efektif.
Kesimpulan
Penerapan prinsip higiene industri secara komprehensif dapat menjadi solusi untuk mencegah dan mengendalikan risiko kesehatan mental akibat pekerjaan. Apabila masalah kesehatan mental di tempat kerja dapat diatasi maka akan berdampak pada peningkatan derajat kesehatan masyarakat Indonesia.
Referensi:
Asumsi.co. (2019, 11 Oktober). “Lingkaran Setan Kesehatan Mental Pekerja”. Diakses pada 29 Maret 2020 dari https://www.asumsi.co/post/lingkaran-setan-kesehatan-mental-pekerja.
Badan Pusat Statistik. 2016. Profil Penduduk Hasil SUPAS 2015. Jakarta: Badan Pusat Statistik RI.
Badan Pusat Statistik. 2019. Keadaan Pekerja di Indonesia Februari 2019. Jakarta: Badan Pusat Statistik RI.
CNN Indonesia. (2016, 22 Agustus). “Pentingnya Bicara Masalah Mental di Lingkungan Kerja”. Diakses pada 29 Maret 2020 dari https://www.cnnindonesia.com/gaya-hidup/ 20160822153230-255-153027/pentingnya-bicara-masalah-mental-di-lingkungan-kerja.
Ekarahendy, E., Ikhsan R., dan Rio A. 2018. “KERJA KERAS MENUKAR WARAS: Masalah Kesehatan Jiwa sebagai Bagian Kesehatan dan Keselamatan Kerja (K3)”. Jakarta: Serikat Pekerja Media dan Industri Kreatif untuk Demokrasi (SINDIKASI).
Gatra.com. (2017, 05 Oktober). “Hasil Survei UI: 20% Karyawan Mengalami Gangguan Mental Emosional”. Dilansir dari https://www.gatra.com/detail/news/288702-keluarga-sehat- pekerja-sehat pada 31 Maret 2020.
Kurniawidjaja, L. Meily. 2007. “Filosofi dan Konsep Dasar Kesehatan Kerja Serta Perkembangannya dalam Praktik”. Jurnal Kesehatan Masyarakat Nasional Vol. 1, No. 6. Diakses pada 29 Maret 2020 dari https://media.neliti.com/media/publications/39593-ID- filosofi-dan-konsep-dasar-kesehatan-kerja-serta-perkembangannya-dalam-praktik.pdf.
OSHA. 1998. Industrial Hygiene. Occupational Safety and Health Administration, Department of Labor, diakses pada 29 Maret 2020 dari https://www.osha.gov/Publications/OSHA3143/OSHA3143.htm#Industrial.
Pusat Data dan Informasi Kementerian Kesehatan RI. 2015. Situasi Kesehatan Kerja. Jakarta: Kemenkes RI.
Pusat Data dan Informasi Kementerian Kesehatan RI. 2018. Keselamatan dan Kesehatan Kerja. Jakarta: Kemenkes RI.
Putri, Sasviana Iryani. 2018. Risk Assessment Terkait Aspek Bahaya Psikososial pada Buruh Pabrik di PT. Sunan Rubber Palembang. Skripsi. Palembang: Universitas Sriwijaya.
Setyaningsih, Yuliani. 2018. Buku Ajar Higiene Lingkungan Industri. Semarang: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Diponegoro.