Aspek PersonalCSMSTerpeleset Tersandung Terjatuh

Bekerja di Ketinggian Sesuai Permenaker no 9 tahun 2016 ( Bagian 1)

Bekerja di ketinggian atau dalam istilah keren yang sering kita dengar adalah working at height (WAH), hampir sebagian besar tempat kerja kita ada pekerjaan terkait hal tersebut terlebih di dunia konstruksi yang sangat lekat dengan bekerja di atas ketinggian. Sudah puluhan orang meninggal akibat terjatuh dari ketinggian belum termasuk kerugian  material yang diakibatkan.

Hampir satu dekade ini pun di dunia konstruksi pekerjaan di ketinggian menjadi penyumbang  terbesar sebagai penyebab kecelakaan kerja dengan jumlah korban yang cukup banyak. Kita ambil contoh saja data kecelakaan kerja yang tercatat Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Ketenagakerjaan 2015, jumlah kecelakaan kerja mencapai 105.182 kasus, dari angka tersebut  38% nya adalah karena pekerjaan di ketinggian entah itu orang terjatuh, tertimpa benda jatuh, maupun sebab yang lainnya.

Dalam pembahasan tentang bekerja di ketinggian, saya akan bagi menjadi 3 bagian tulisan: pertama tentang pemahaman secara umum apa itu bekerja di ketinggian sesuai dengan permenaker no 9 tahun 2016, kedua dan ketiga membahas perbedaan antara bekerja pada bangunan tinggi dengan bekerja pada ketinggian (akses tali).

bekerja di ketinggian dengan akses tali
bekerja di ketinggian dengan akses tali

Berbicara tentang bekerja di ketinggian atau working at height (WAH),  saya jadi  teringat pengalaman ketika cuti sempat membaca salah satu artikel majalah maskapai penerbangan dan menemukan artikel  yang cukup bagus yaitu tentang peribahasa atau kutipan “vision without work is a day dream,work without vision is a nightmare” , kalau diartikan dalam bahasa yang mudah kita pahami  “ Sebuah visi tanpa diikuti  dengan bekerja seperti sebuah mimpi di siang bolong, bekerja tanpa visi sama halnya sebuah mimpi buruk” mungkin timbul sebuah pertanyaan apa hubungan dengan pembahasaan bekerja di ketinggian?

Memahami Alasan Pengendalian Risiko Ketinggian

Saya mencoba mengaitkan  dengan profesi safety, ketika membaca komentar dari postingan sebuah photo yang menginginkan tanggapan dari sisi safety akan sangat jelas kita lihat mana orang orang yang memiliki visi, mana yang tidak, mana yang benar-benar  paham dan mana yang hanya sekedar paham. Salah satunya indikator banyak sekali komentar yang membahas tentang “keharusan memakai fullbody harness  dalam bekerja di ketinggian” namun ketika ditanya  kenapa ada kata HARUS atau WAJIB sangat jarang sekali yang menjelaskan kenapa kita perlu memakainya dan apa alasannya, ambil contoh banyak yang komentar “wajib, harus memakai  fullbody harness titik tidak ada alasan lain” ketika ditanya kenapa? Dijawab karena keharusan dari perusahaan atau karena perusahaan yang terdahulu mewajibkan.

Banyak yang membanggakan pernah bekerja di perusahaan internasional yang menjadi “kiblat” safety  dan menerapkan di perusahaan baru tanpa bisa memberi alasan lainnya padahal kalau kita mau lebih teliti dan mau belajar mintalah standar operasi prosedurenya  (ditempat yang lama) di sana  akan dijelaskan dengan bahasa yang lebih lengkap dan mudah dipahami (karena sebuah SOP dibuat harus mudah dibaca dan dipahami oleh yang akan membaca/menerapkan) kenapa mewajibkan fullbody harness, berapa batasan ketingian dan aturan atau regulasi yang mana dipakainya  jadi tidak terkesan asal bikin peraturan.

Ada juga yang mau menjelaskan sedikit peraturan dan tentang hirarki kontrol  yang sangat hafal urutannya dari mulai eliminasi  sampai urutan terakhir yaitu APD namun belum paham tentang hakekat dari hirarki kontrol tersebut, belum tahu mana yang termasuk mitigasi  aktif mana yang termasuk mitigasi pasif, mana yang bisa mengurangi consequence (akibat) mana yang bisa mengurangi likelihood  (kemungkinan) nya. Ingat ketika kita berbicara tentang sebuah resiko kedua hal tersebut tidak bisa dipisahkan karena secara sederhana resiko adalah hasil perkalian dari keduanya (Resiko = Likelihood x Consequence ) dan dalam hirarki kontrol tersebut kita juga harus paham mana yang bisa mengurangi likelihood, mana yang bisa mengurangi consequence  dengan memahaminya akan lebih mudah dalam melakukan mitigasi mana yang cocok dan efektif  sesuai kemampuan dari perusahaan tersebut, tidak ada batasan baku sampai seberapa besar penurunan sebuah mitigasi dilakukan, yang perlu garisbawahi  adalah sampai sebatas perusahaan tersebut mau menerima resiko sisa, bukankah resiko tidak bisa dihilangkan ?

Begitu juga tentang kiblat regulasi yang dianut belum tentu satu perusahaan sama dengan perusahaan yang lain dan itu sah sah saja asal ada dasar hukumnya yang mengikat. Contoh kecil tentang batasan ketinggian yang disyaratkan banyak yang berdebat 1,8 meter, 2 meter. Untuk di Indonesia, kita menganut yang sesuai dengan isi Permenaker no 9 Tahun 2016 disana  tidak ada batas ketinggian. Yang dipakai adalah selama ada perbedaan ketinggian lantai kerja dengan posisi bekerja dan berpotensi pekerja jatuh, serta cidera itu sudah termasuk dalam bekerja diketinggian (permen no 9 th 2016 pasal 1).

Kembali ke peribahasa di atas  mana sih orang yang bekerja dengan visi dan yang tidak  punya VISI? Ambil contoh ilustrasi sederhana saja ketika seorang HSE ditanya  tentang pekerjaan di ketinggian kira-kira ada 3 petugas keselamatan anggap saja namanya Anton, Badrun, dan Chandra  (bukan nama sebenarnya). Ketika disuruh menyiapkan rencana kerja bekerja di ketinggian Anton menjawab harus ada ijin bekerja dan memakai APD wajib fullbody harness dan hanya menerapkan hal tersebut di lapangan, sedangkan Badrun menjawab dan menjelaskan tentang pentingnya penggunaan APD dan fungsi dari ijin kerjanya serta menerapkan di lapangan. Chandra selain menjawab tentang prosedur juga melakukan risk assesment  secara keseluruhan bukan hanya pada pekerjanya saja tapi pada orang di sekitarnya  dan keamanan barang di sekitarnya, dengan kata lain menciptakan kondisi kerja yang aman secara keseluruhan bukan hanya terfokus pada satu pekerjaan saja. Ketiganya sama sama bekerja sesuasi prosedur perusahaan namun orang ketiga (Chandra ) yang selain bekerja juga mempunyai visi  yang cukup jelas dan terarah tidak sekedar menjalankan perintah saja. Orang kedua mempunyai visi  namun kurang cukup jelas masih sebatas pada pekerjaanya saja.

Dalam Buku Self Driving karangan Rhenald Kasali, ada banyak pilihan dalam kehidupan menjadi “penumpang” yang hanya bisa duduk manis sambil komentar sinis atau cuma  bisa mengkritik, ataukah jadi “pengemudi.” Sebagai seorang pengemudi pun juga ada dua pilihan pengemudi, yaitu menjadi pengemudi baik ataukah sebagai pengemudi yang buruk? Untuk menjadi seorang pengemudi yang baik dan mempunyai visi yang jelas perlu latihan bukan hanya hafalan aja tapi lebih kepemahaman kita sebagai seorang pengemudi yang tahu akan kemana kendaraan dibawa.

Pekerjaan di lantai tetap atau sementara vs Akses Tali

Dari sisi regulasi, pemerintah sudah menerapkan standart kerja di ketinggian yang maksimum kepada tenaga kerja maupun aset perusahaan. Permasalahaanya adalah tidak semua perusahaan atau orang yang melakukan pekerjaan di ketinggian mau menerapkan sepenuhnya apa yang ada dalam peraturan menteri tersebut alih-alih  menerapkan ketika terjadi kecelakaan kerja di ketinggian yang disalahkan tetap pemerintah, yang kurang pengawasan lah, kurang perhatian, dan lain-lain.

Ada 2 jenis perbedaan yang mendasar di dalam peraturan ini tentang bekerja di ketinggian yaitu yang melakukan pekerjaan di lantai kerja tetap atau sementara (yang dalam peraturan menteri ini kompetensi orangnya ke bangunan  tinggi) dan pekerjaan yang menggunakan akses tali ( Kompetensi yang harus diikuti tenaga kerja pada ketinggian) kalau dipersingkat  perbedaan tempat kerjanya pada struktur atau pada akses tali (saya akan bahas dalam bagian 2 untuk bekerja pada bangunan tinggi dan pada ketinggian di bagian 3).

bekerja di ketinggian
Penggunaan akses tali

Dari sisi perlindungan orang yang sedang bekerja di ketinggian juga berbeda, jika pada bangunan tinggi perlindungannya adalah melindungi sebelum pekerja tersebut jatuh sedangkan di akses tali perlindungan dibuat ketika orang tersebut sudah jatuh atau lebih mudahnya pemahaman fungsi dari fullbody harness di bekerja pada bangunan tinggi sebagai penahan jatuh sedangkankan untuk bekerja pada ketinggian atau akses tali fulbody harness nya didesain untuk mencegah jatuh.

Ada satu hal yang penting dan menarik di kedua pekerjaan ini. Pada bangunan tinggi potensi terjadinya suspension trauma sangat besar ketika terjatuh karena posisi penempatan lanyard dan bentuk pelindungnya (fullbody harness) yang tidak se-spesifik di ketinggian menggunakan tali. Sedangkan, di akses tali kemungkinan terjadinya suspension trauma sangat kecil karena peralatan dan kelengkapan yang dipersyaratkan memang ditujukan untuk orang tersebut jatuh (tergantung).

Bagaimana asyik kan membahas tentang bekerja di ketinggian semoga dengan tulisan ini sedikit banyak membantu membuka wawasan temen temen akan pentingnya bekerja selamat di ketinggian, dan semoga juga dengan meningkatkan pengawasan bekerja di ketinggian akan membantu mengurangi angka kecelakaan kerja yang semakin tahun meningkat.

Salam K3 sampai jumpa pada pembahasan bagian 2 dan 3 dan semoga juga masih bersemangat untuk membaca dan belajar.

Baca Tulisan

Budhi Setiyawan

Pembina HSE INDONESIA Wilayah jatim dan Regional Malang Raya. Bekerja di salah satu perusahaan tambang Nikel di Sulawesi Tenggara

3 Comments

  1. Salam kenal pak budi setiyawan ,saya hamdi dari jombang jatim .

    1. salam kenal juga mas hamdi semoga bermanfaat bacaannya

Back to top button